Kamis, 07 Februari 2019

Pudarnya Pesona Komunikasi Tatap Muka di Warung Kopi

IMG_20180106_205638_351.jpg
Tradisi duduk di warung kopi memang sudah sejak lama dikenal oleh masyarakat Aceh dan mampu bertahan hingga saat ini. Warung kopi di Aceh hadir dalam bentuk yang beragam dan dapat ditemukan hampir di sepanjang jalan. Bagi masyarakat Aceh, warung kopi menjadi media komunikasi untuk berdiskusi dan bersilaturahim dengan sesama rekannya.


Warung kopi menjadi pusat berkumpulnya komunitas-komunitas untuk melakukan berbagai aktivitas sosial, sehingga tidak heran jika di warung kopi kita menemukan banyak pengunjung dari berbagai latar pekerjaan.

Warung kopi di Aceh menjadi salah satu miniatur kehidupan sosial masyarakat Aceh, sehingga dari sini dapat dilihat bagaimana perkembangan realitas sosial masyarakat Aceh.

Perkembangan warung kopi di Aceh beriringan dengan bagaimana masyarakatnya berkembang. Sehingga membentuk tradisi yang memiliki esensi berbeda dari masa ke masa sesuai dengan perkembangan zaman dan arus globalisasi yang sedang berjalan secara menyeluruh di tengah-tengah masyarakat Aceh dewasa ini.
Kenyataan VS Kepalsuan
Pada era millennial seperti saat ini, perkembangan warung kopi pun turut mengalami peningkatan baik dari sisi konsep dan fasilitas. Salah satunya dengan penyediaan fasilitas teknologi komunikasi seperti “wifi gratis”. Hampir di setiap warung kopi kini dapat ditemukan fasilitas wifi gratis agar dapat menarik perhatian pengunjung. Sehingga saat ini, sudah menjadi hal yang lazim jika kita menemukan banyak pengunjung yang duduk santai di warung kopi bersama gadget yang dimilikinya hingga berjam-jam lamanya.
Hal ini menggambarkan bahwa warung kopi di Aceh saat ini turut serta memfasilitasi perubahan pola hidup masyarakat Aceh, beriringan dengan kebutuhan masyarakat akan kemajuan teknologi komunikasi. Jika dahulu warung kopi menjadi media komunikasi tatap muka (face to face communication), di era millennial saat ini warung kopi justru cenderung menjadi media yang membatasi ruang komunikasi tatap muka.
Pengunjung warung kopi saat ini cenderung memanfaatkan fasilitas wifi gratis di warung kopi untuk menikmati pola komunikasi di dunia maya (mediated communication) untuk bercengkerama dengan berbagai kalangan yang ada dalam di dunia maya melalui berbagai fasilitas jejaring sosial yang dimilikinya.
Padahal, komunikasi tatap muka pada awalnya menjadi inti dari tradisi duduk warung kopi. Pengunjung di warung kopi menjadikan warung kopi sebagai media pemersatu untuk bercengkerama, bersilaturahim, dan berdiskusi secara langsung di tengah-tengah padatnya aktifitas dan kesibukan masing-masing.
Saat ini, tradisi duduk warung kopi telah berubah nilai substansinya. Proses komunikasi tatap muka yang dulunya lebih ditekankan, kini beralih pada gaya komunikasi bermedia di dunia maya (online) dengan memanfaatkan gadget masing-masing.
Komunikasi di dunia maya ini kemudian dianggap lebih nyata daripada proses komunikasi sesungguhnya.Terbukti dengan banyaknya pengunjung yang lebih senang meletakkan perhatiannya pada gadget yang dimilikinya. Sehingga ramah-tamah antara sesama rekan di meja menjadi hilang. Berdiskusi dengan rekan-rekan di dunia maya di anggap lebih nyata daripada rekan-rekan semejanya.
Maka benar seperti yang dikatakan oleh Jean Baudrillard dalam bukunya Simulacra and Simulacrum (1989) mengenai “hiperrealitas” di dunia maya, bahwa kemajuan teknologi komunikasi dapat mengaburkan batasan antara mana yang “kenyataan” dan “kepalsuan”. Duduk semeja bersama rekan-rekan di warung kopi itu nyata, sedangkan berbicara dengan rekan di jejaring sosial, meng-update status, mengirim foto, atau membagikan informasi-informasi di dunia maya itu jelas tidak nyata alias semu.
Karena apapun yang ditampilkan di dunia maya itu adalah realita yang telah terdistorsi oleh simbol-simbol dan tanda-tanda, sehingga kita akan sulit mengenali mana yang asli dan mana yang palsu. Namun alangkah mirisnya, bahwa aktifitas di dunia maya ini justru dianggap lebih nyata daripada realita komunikasi sebenarnya. Semuanya menjadi bagian realitas yang dijalani oleh masyarakat Aceh dewasa ini.
Fasilitas wifi gratis di warung kopi memang sangat memungkinkan masyarakat Aceh terperangkap ke dalam dunia ‘simulasi’ semu ini. Masyarakat semakin cenderung senang berselancar di dunia maya, sehingga dorongan-dorongan untuk berperilaku online mungkin bisa sulit dikendalikan.
Seperti yang dijelaskan oleh Profesor John Suler (2015) seorang pakar psikologi mengenai The Online Disinhibition Effect, bahwa ada kecenderungan pada diri individu untuk sulit mengontrol dirinya ketika berperilaku di dunia maya. Ketika individu berada di dunia maya, maka sangat memungkinkan bagi individu tersebut untuk secara terus-menerus meng-update status, chattingbrowsingsharing, bahkan bullying, dan perilaku lainnya yang tidak dapat dilakukan di dunia nyata.
Inilah yang dikatakan sebagai perilaku “disinhibition” (ketidakmampuan menahan rangsangan yang terbendung)”, apalagi dunia maya menawarkan anonimitas dan otoritas yang lebih besar daripada realita kehidupan sebenarnya terhadap diri seseorang. Sehingga membuat mereka merasa lebih bebas dan leluasa melakukan apapun di dunia maya daripada di dunia nyata. Ditambah adanya komunikasi yang sifatnya tertunda (asynchronicity communication), sehingga seseorang tidak terlalu khawatir dengan apapun yang dikomunikasikannya setelah dia keluar dari aktifitas di dunia maya.
Oleh karena itu, saya sepakat dengan suatu ungkapan bahwa dalam aktifitas di dunia maya, tangan dapat bergerak lebih cepat daripada pikiran. Sehingga tidak aneh jika banyak hal-hal yang tidak pantas begitu cepat berkembang di dunia maya dan dengan mudahnya dipercaya oleh para generasi millennial. Seperti informasi hoax, situs-situs porno, game online, dan lain-lain.
Kemudahan mengakses informasi dan berkomentar di dunia maya membuat masyarakat sulit mengendalikan dirinya, terlebih lagi dengan banyaknya fasilitas wifi gratis yang dapat ditemukan di warung-warung kopi. Jika masyarakat bisa terjebak dalam kondisi seperti ini, tentu saja sangat tidak baik untuk perkembangan moral. Khususnya bagi masyarakat Aceh yang dikenal sebagai masyarakat Islami.
Nyata Jauh Lebih Baik
Harusnya kita sadar, bahwa berkomunikasi secara nyata tentu saja lebih baik daripada terjebak ke dalam realita semu dunia maya. Apapun yang terjadi di dunia maya akan lenyap begitu saja ketika tombol “log out” ditekan, dan kemudian kita akan kembali berhadapan dengan dunia sesungguhnya. Ini artinya, dunia nyata, rekan-rekan semeja, dan diskusi renyah di warung kopi adalah hal yang lebih patut diperhatikan daripada sekedar larut pada dunia semu di dalam gadget canggih milik kita.
Jika warung kopi menjadi arena yang baik untuk ajang berkomunikasi antar sesama rekan sejawat, jangan sampai komunikasi yang terjalin justru menjadi renggang dengan fasilitas teknologi yang kita miliki. Teknologi sepatutnya ada untuk mempermudah kita dalam melakukan aktifitas, tapi alangkah baiknya kita tidak terlena dengan kemajuan teknologi sehingga lupa pada esensi dasar dari realita kehidupan sosial.
Patut kita pahami kembali bahwa komunikasi tatap muka justru lebih mempunyai kelebihan di atas komunikasi bermedia ketika kita ingin menyelesaikan suatu permasalahan. Aktifitas komunikasi tatap muka memungkinkan seseorang untuk secara langsung dan nyata melihat respon dari lawan bicara. Maka, tentu saja dengan memperbanyak aktifitas sosial tatap muka lebih baik daripada fokus kepada gadget yang kita miliki.
Oleh karena itu, penting bagi kita sebagai bagian dari masyarakat millennial untuk berkomitmen pada diri sendiri agar lebih memprioritaskan komunikasi tatap muka yang berkualitas daripada gadget di tangan. Diamkan atau matikan sejenak gadget ketika sedang duduk bersama rekan di warung kopi. Sadari bahwa dunia sosial yang sebenarnya itu ada di lingkungan kita, bukan di dalam alat-alat canggih yang kita miliki.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar