Rabu, 06 Februari 2019

JANGAN MAU MENJADI GENERASI LEBAY: Ayo! Lebih Kritis Terhadap Isi Media

Pada masa lalu, ketika dunia pertelevisian kita hanya diisi oleh TVRI, anak-anak dan remaja hanya mendapat hiburan dari tokoh boneka semacam Pak Raden, Si Unyil, Pak Ogah, dan lain-lain dalam serial Boneka si Unyil. Akan tetapi, seiring perkembangan zaman, ketika mulai bermunculan siaran televisi swasta, anak-anak dan remaja kita mulai kebingungan dengan pilihan tontonan mereka, alias keriuhan yang membingungkan." ~Kutipan dalam buku Kedaulatan Frekuensi, KPI.

Bukan hal asing lagi jika kita menyalakan televisi kita, maka yang kita temukan adalah tayangan yang 'sejenis' rasanya. Entah itu tayangan musik, reality show, sinetron, parodi, uka-uka, dsb.

Mengapa saya katakan sejenis? Karena hampir di setiap stasiun televisi, tema yang diusung per program acara hiburan adalah sama. Sama-sama tidak jelas format acaranya, selain untuk sekadar hiburan atau senang-senang belaka.

Jika kita merujuk kembali pada UU. No. 40 tahun 1999 tentang Pers dan UU No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, di sana secara jelas sudah diatur bagaimana fungsi media massa dan standar format tayangan televisi yang layak itu seperti apa. Setidaknya, ada empat fungsi institusi media yang harus dijalankan: edukasi, hiburan, persuasi, dan kontrol sosial. Namun, apakah ini benar-benar sudah dijalankan dengan baik?

Agaknya, posisi lembaga penyiaran Indonesia khususnya media televisi untuk saat ini memang berada dalam posisi yang sangat memprihatikan. Pasalnya, apa yang terlihat saat ini adalah banyak sekali stasiun pertelevisian yang cenderung menjalankan fungsinya sebagai media hiburan belaka yang minim edukasi.

Ini bukan sekadar asumsi belaka. Hampir di setiap tahunnya, masuk laporan pengaduan ke Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Dewan Pers yang berisi kecaman terhadap konten program acara tertentu. Biasanya permasalahan yang ditemukan adalah program acara yang memfasilitasi adanya bentuk bullying seperti kekerasan verbal/non verbal, tindakan SARA, pengumbaran privasi, membangun budaya tidak baik/pencitraan negatif seperti gaya percintaan remaja, atau komodifikasi berlebihan terhadap kisah kehidupan seseorang (ex: kemiskinan, perceraian, meninggal, perkawinan, kelahiran, dsb)

Seperti baru-baru ini, lagi-lagi Dewan Pers mendapatkan keluhan tentang pelanggaran yang dilakukan oleh institusi media televisi oleh presenter-presenternya dan konten tidak layak tayang. Contohnya seperti acara Pesbukers yang kontennya jauh dari unsur mendidik dan tema ramadhan. Program acara ini sering menampilkan joke garing dari presenter plus joget seru-seruan secara jamaatan yang justru tidak mendidik di suasana ramadhan. Belum lagi pakaian seksi yang dipakai oleh presenter dan bintang tamu, atau gosip-gosip tidak penting berkisar masalah pribadi mereka.

Ada juga program yang dipandu oleh Uya Kuya, yang menampilkan aksi wawancara terhadap bintang tamunya dalam kondisi tidak sadar. Meskipun telah disetujui oleh yang bersangkutan, akan tetapi wawancara terhadap informan dalam kondisi tidak sadar jika merujuk pada regulasi maka pada dasarnya tidak boleh dilakukan.

Berikut adalah data yang berhasil dihimpun oleh Tirto berkaitan dengan adanya indikasi pelanggaran oleh media terhadap isi tayangan:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar