Jumat, 08 Februari 2019

WARUNG KOPI SEBAGAI PENCIPTA DUNIA SIMULASI VIRTUAL DAN BENTUK “EKSTASI” KONSUMERISME VIRTUAL MASYARAKAT ACEH

Setelah tulisan pertama yang pernah saya publikasikan beberapa waktu lalu  berjudul "Pudarnya Pesona Komunikasi Tatap Muka di Warung Kopi" (baca di sini), kali ini saya tertarik untuk membahas lebih lanjut mengenai fenomena warung kopi kontemporer di Aceh saat ini.
Pada tulisan yang lampau, ada dua konsep yang saya tekankan, yaitu hiperealitas dan online disinhibition effect. Maka pada pembahasan lebih jauh, dapat dikaji bahwasanya posisi masyarakat Aceh dan kebiasaan mereka memanfaatkan warung kopi sebagai media untuk berselancar di dunia maya,
menggambarkan suatu bentuk konsumerisme masyarakat terhadap terpaan teknologi komunikasi yang ditawarkan di tengah-tengah mereka. Masyarakat konsumer (consumer society) adalah masyarakat yang menciptakan nilai-nilai yang berlimpah melalui barang konsumer, serta menjadikan konsumsi sebagai pusat aktivitas kehidupan (Amir Pililang, 2003: 19).
Hiperealitas dan perilaku disinhibition pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dari keberadaan teknologi dan modernitas yang ditawarkan di tengah-tengah masyarakat Aceh saat ini. Akhirnya masyarakat sendirilah yang harus mampu mengontrol dan menginterpretasikan setiap simbol-simbol yang ada tersebut. Konsumerisme masyarakat Aceh terhadap fasilitas-fasilitas internet gratis di berbagai warung kopi akan membentuk hiperealitas terhadap media virtual itu sendiri, maka bukan lagi salah media massa dalam mengonstruksi simbol-simbol agar menciptakan imajinasi-imajinasi tertentu kepada masyarakat.
Hiperealitas menghadirkan model-model kenyataan sebagai sebuah simulasi (tiruan yang mirip dengan aslinya). Simulasi itu menciptakan simulacrum (jamak: simulacra), didefinisikan sebagai image atau representation, yang aslinya tidak pernah ada sehingga mengaburkan batasan realita dan kepalsuan. Hiperealitas membuat orang akhirnya terjebak pada simulacra, dan bukan pada sesuatu yang nyata. Dalam konteks kajian ini, maka di sini warung kopi di era kontemporer saat ini menawarkan aktivitas dunia simulasi virtual bagi masyarakat Aceh yang menampilkan citra-citra, tanda-tanda, dan menciptakan imajinasi terhadap masyarakat. Dunia virtual yang tidak pernah dapat kita bayangkan bagaimana bentuknya.
Dalam bukunya yang berjudul Simulation Baudrillard memperkenal istilah simulasi untuk menerangkan hubungan-hubungan produksi, komunikasi, dan konsumsi dalam masyarakat kapitalis konsumer. Yang dicirikan oleh overproduksi, overkomunikasi, dan overkonsumsi. Konsep simulasi juga menunjuk kepada pengalaman ruang dan pengalaman totalitas hidup dalam dunia simulasi kapitalisme modern. Simulasi pada dasarnya tidak terlepas dari perkembangan modern masyarakat kapitalis di Aceh itu sendiri, yang pada akhirnya kemudian dikenal sebagai masyarakat posindustri atau masyarakat (massa) konsumer.
Overproduksi, ini terjadi ketika pihak pebisnis warung kopi memproduksi tanda-tanda secara terus menerus kepada masyarakat Aceh untuk dijual dan menarik perhatian masyarakat. Overkomunikasi terjadi ketika masyarakat Aceh terlarut di dalam bentuk komunikasi yang sudah bercampur baur antara realita dan komunikasi yang khayali, seperti ketika mereka berada di dunia maya. Sehingga pada akhirnya yang terjadi adalah overkonsumsi di dalam masyarakat Aceh, yaitu ketika masyarakat terjebak dalam level komsumtivitas tinggi terhadap warung kopi, fasilitas internet, dan komunikasi virtual yang dilakukannya. Masyarakat merasa kecanduan yang besar untuk mengkonsumsi internet di warung kopi, tanpa mengetahui atau mampu membedakan antara konsumsi karena kebutuhan atau hasrat belaka.
Selain dampak dari konsumsi media virtual yang melaju pesat, teknologi media hubungannya dengan konsumsi juga berperan dalam proses produksi budaya massa. Artinya ini lebih dekat pada sebuah industri budaya sebagaimana yang ditunjukkan oleh Adorno dan Horkheimer, bahwa budaya tidak lepas dari dari ekonomi politik dan produksi kebudayaan kapitalis: sebuah paradoks bagi proyek Pencerahan.
“The culture industry fuses the old and familiar into a new quality. In all its branches, the products which are tailored for consumption by masses, and which to a great extent determine the nature of that consumption, are manufactured more or less according to plan.” (Adorno, (J M. Bernstein ed.), 1991: 98)
Di dalam era konsumerisme, masyarakat hidup dalam relasi subjek dan objek yang baru, yaitu relasi konsumerisme. Di dalam masyarakat konsumer, objek-objek konsumsi dipandang sebagai ekspresi diri atau eksternalisasi para konsumer, dan sekaligus sebagai internalisasi nilai-nilai sosial budaya yang terkandung di dalamnya. Fasilitas internet gratis yang diberikan di warung-warung kopi merupakan objek konsumsi masyarakat Aceh, dan proses konsumsi terhadap fasilitas yang ada inilah yang menjadi wujud ekspresi diri atau eksistensi masyarakat kontemporer Aceh terhadap perkembangan teknologi yang mereka hadapi.
Akan tetapi secara lebih jauh, wujud ekspresi diri dan kebebasan masyarakat Aceh melalui konsumsi teknologi ini oleh Baudrillard tidak hanya dipandang dari sisi relasi kekuasaan atau kontrol diri masyarakat sebagai subjek terhadap objek dalam tindakan konsumi tersebut. Menurutnya, kontrol masyarakat terhadap tindakan konsumsi ini adalah sesuatu yang sifatnya semu disebabkan oleh suatu perubahan radikal yang terjadi pada relasi konsumsi di dalam masyarakat konsumer itu sendiri.
Maka Baudrillard menerangkan bahwa:
“...kita tidak lagi mengontrol objek, akan tetapi dikontrol oleh objek-objek ini.”
“...apapun mengalir melalui mereka (konsumer), apapun menarik mereka bagaikan magnit, akan tetapi mengalir melalui mereka tanpa meninggalkan bekas apa-apa.” (Barthes, 1973)
Di dalam massa konsumer yang pasif, mereka hanya akan menyerap setiap informasi, tanda, pesan-pesan, norma-norma akan tetapi tidak pernah merefleksikannya, oleh karena tidak ada yang dapat direfleksikan, meraka hanya mengkonsumsi. Mereka tidak perlu merefleksikan tanda, pesan, makna, atau norma-norma, karena mereka sendiri terperangkap di dalam kondisi skizofrenia. Di mana terlalu banyak tanda, terlalu banyak pesan, terlalu banyak informasi, terlalu banyak gaya. Tanda, pesan, makna atau gaya-gaya yang diambil dari berbagai sumber ideologi, kebudayaan, masa lalu atau masa kini, yang semuanya tercabut dari nilai spiritual dan realitas sosialnya yang nyata (Amir Piliang, 2003: 135-136).
Bagi kelompok masyarakat seperti ini, apa yang dicari dalam konsumsi bukan lagi makna-makna ideologis, melainkan kegairahan dan “ekstasi” pada objek, dan yang dicari dalam komunikasi bukanlah pesan-pesan dari informasi, melainkan kegairahan dalam berkomunikasi itu sendiri. Dalam bermain dengan tanda, citraan, dan medianya. Begitu pula dalam penggunaan teknologi internet, semata-mata untuk mencari kegairahan dari kecanggihan internet dan atau dari proses komunikasi di dalamnya.
Massa disuguhi nilai-nilai penampakan, yang bukan reproduksi nilai-nilai mitologis atau ideologi. Dalam konteks ini masyarakat Aceh adalah konsumer yang transparan, yang menyerap nilai-nilai keterpesonaan (fascination) terhadap perkembangan teknologi internet yang dahsyat dan fasilitas internet yang menjamur di warung-warung kopi Aceh. Tanpa harus menyerap nilai-nilai transedental warung kopi yang memang sudah tercabut dari realitas sosial objek-objek tanda dalam masyarakat Aceh.
Hal ini merupakan model persepsi yang mendahulukan keterpesonaan dan ekstasi akan penampakan, daripada nilai-nilai transedental, yang mendominasi realitas sosial dan budaya masyarakat konsumer di Aceh. Mengganti kedalaman spiritual masyarakat Aceh tentang konsepsi budaya warung kopi dengan kedangkalan citraan atau tanda di dalam dunia virtual yang ditawarkan melalui ketersediaan fasilitas teknologi internet menjadi suatu bentuk ritual/kebiasaan baru, kemudian mengambil alih fungsi nilai-nilai realitas sosial yang sebenarnya dalam proses interaksi sosial masyarakat Aceh.
Masyarakat konsumer Aceh menjadikan kebiasaan nongkrong di warung kopi, menikmati ketersediaan internet gratis, dan berselancar di dunia virtual selama berjam-jam lamanya sebagai suatu bentuk “ekstasi” atau candu terhadap tanda realitas bayangan, realitas yang dibangun dalam dunia virtual. Sehingga mampu mencabut bentuk-bentuk komunikasi nyata yang seharusnya ada di dunia sebenarnya.
“(realitas) menjadi realitas pengganti realitas, pemujaan (fetish) objek yang hilang bukan lagi objek representasi, akan tetapi ekstase penyangkalan dan pemusnahan ritualnya sendiri.” (Baudrillard: 1983: 12)
Para kapitalis mereproduksi realitas lewat fasilitas teknologi internet yang ditawarkannya di warung-warung kopi dan memanipulasi kebutuhan. Seakan-akan fasilitas internet adalah satu-satunya yang dicari oleh masyarakat Aceh kontemporer ketika ke warung kopi. Membuat masyarakat justru mendatangi warung kopi bukan lagi untuk membangun silaturahim dengan rekan-rekannya, tetapi memilih untuk menggunakan internet. Yang sebenarnya mereka terjebak dalam kepentingan kapitalis untuk strategi bisnis mereka melalui manipulasi-manipulasi tanda, dengan memanfaatkan konsumerisme masyarakat Aceh terhadap kebutuhan untuk berselancar di dunia maya. Masyarakat Aceh dalam konteks ini pun dianggap sebagai massa konsumer, sebagai objek dari reproduksi tanda-tanda dalam relasi kuasa dan bisnis warung kopi modern di Aceh.
Dunia hiperealitas merupakan dunia yang dipenuhi dengan reproduksi secara silih berganti oleh objek simulakrum, yaitu objek yang murni sebagai penampakan, yang tercabut dari realitas masa lalunya. Di dalam dunia seperti inilah masyarakat Aceh sebagai subjek digiring ke dalam pengalaman ruang yang hipereal, pengalaman silih bergantinya penampakan di dalam warung kopi sebagai ruang, membuat realitas interaksi sosial yang nyata di warung kopi berbaur dan melebur dengan fiksi, halusinasi, dan fantasi dalam bentuk interaksi di dalam dunia virtual, sehingga perbedaan di antara keduanya menjadi sulit ditemukan (Amir Pilliang, 2003: 136).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar