Sabtu, 02 Februari 2019

WORKING MOMS IN A DILLEMA: JADILAH IBU YANG TERBAIK

Sedari awal saya memutuskan untuk menjadi seorang perempuan karir, itu artinya saya harus siap dengan segala konsekuensi yang dihadapkan setelahnya. Menjadi seorang perempuan karir seperti saya ini tentu saja tidak seindah apa yang terlihat, banyak tantangan yang harus dihadapi. Salah satunya adalah menghadapi bagaimana pandangan-pandangan sosial pada umumnya, dan bagaimana menyiasati teknik pengasuhan anak atau mengurus rumah tangga di tengah-tengah persepsi sosial di sekitar.

Hari ini merupakan hari perempuan, maka pada tulisan kali ini sudut pandang saya akan banyak menekankan pada sisi ‘keperempuanan’. Sisi yang cenderung masih diabaikan dan menurut saya dialami oleh sebagian besar perempuan, khususnya para ibu namun bekerja di luar rumah sebagai seorang perempuan karir. Tulisan ini (mungkin) dapat menjadi salah satu contoh kecil dari perwakilan suara perempuan, sebagai perwakilan dari perempuan yang berkarir. (Jadi penting bagi para lelaki, jangan sampai menjadi baper karena tulisan ini. Masalah laki-laki akan berbeda sudut pandangnya. Mungkin perlu tulisan khusus yang membahas dari perspektif laki-laki. Silahkan saja. :D)

Ada dua istilah yang disandangkan bagi kalangan ibu. Yang pertamaadalah kalangan ibu yang bekerja full time di rumah, yaitu bertugas mengurusi rumah, mengurus anak, dan melayani suami, seperti gambaran masyarakat pada umumnya tentang tugas seorang perempuan. Nah, kalangan perempuan seperti ini dikenal dengan istilah staying at home mom. Sedangkan istilah kedua adalah kalangan ibu yang bekerja di luar rumah, yaitu seorang ibu yang punya pekerjaan di luar rumah sebagai perempuan karir atau bekerja untuk membantu kehidupan ekonomi keluarga. Kalangan ini dikenal dengan sebutan working mom.
Baik staying at home mom atau working mom, sebenarnya punya sisi kelemahan dan kekurangannnya masing-masing. Namun mari kita fokuskan tulisan ini pada permasalahan working mom. Mengapa? Karena working mom ini acap kali berujung pada suatu hal yang tidak mengenakkan.

Ibu yang Bekerja Rentan Menghadapi Dilema

Sebagai seorang ibu yang bekerja, tentu saja saya pernah merasakan hal-hal yang tidak mengenakkan berkaitan dengan teknik pengasuhan anak, mengurusi rumah dan suami. Dan ini tentu saja benar-benar hal yang berat untuk diselesaikan jika di dalam rumah tangga tidak ada suatu kerja sama yang baik. Bagi perempuan karir yang sudah berkeluarga dan memiliki anak, saya yakin sebagian besar akan menghadapi beberapa hal yang sama setiap harinya. Apa saja itu?
Hectic Morning, hampir di setiap paginya perempuan akan menghadapi kondisi pagi yang rumit dan super sibuk. Bangun tidur harus segera ke dapur untuk membereskan sisa-sisa piring kotor, lantas membuat sarapan, memandikan anak, menyapu rumah dan sebagainya yang harus dilakukan secara kilat sebelum dirinya sendiri bersiap-siap untuk dapat berangkat ke tempat kerja. Itu belum ditambah adanya “drama” anak menangis meminta ini dan itu. Atau anak terbangun semalaman yang berujung pada ibu dengan “mata panda” atau “anemia”.
Pekerjaan rumah yang tidak ada habis-habisnya. Ini juga menjadi salah satu masalah yang dihadapi seorang ibu yang bekerja di luar, namun tidak memiliki asisten rumah tangga di rumah. Rutinitas di rumah harus dapat dikerjakan setiap harinya berbarengan dengan tumpukan tugas dari tempatnya bekerja. Ini tentu saja membuat seorang ibu yang bekerja kewalahan minta ampun.
Mereka didesain layaknya mesin yang harus mampu bekerja setiap harinya tanpa henti, bahkan ketika anak tertidur pun ada saja yang harus dikerjakan oleh seorang ibu. Ntah itu mencuci baju, menyetrika baju, memasak, atau membereskan tumpukan mainan yang diserakkan oleh anak-anak mereka ketika mereka terjaga. Dan itu terus berulang-ulang dilakukan di setiap harinya. Ini lah yang dikatakan sebagai peran ganda (double burden), ketika perempuan harus dapat menyelesaikan banyak hal sekaligus baik di dalam rumah atau di tempatnya bekerja.
Anak rewel dan tidak mau dititipkan pada seorang pengasuh anak. Ini juga menjadi sebuah “drama” yang kadang-kadang dialami seorang ibu berkarir. Ketika harus berangkat kerja, anak tiba-tiba rewel tidak mau ditinggalkan dengan pengasuhnya. Hal ini mungkin saja terjadi karena kejenuhan seorang anak yang butuh terhadap sosok ibunya daripada seorang pengasuh. Anak bisa saja rewel karena setiap harinya harus ditinggalkan ibunya bekerja, dan melakukan aksi-aksi protes. Sehingga ini membuat seorang ibu menjadi bersalah dan membingungkan posisi mereka.
Anak sakit. Ketika anak jatuh sakit pun menjadi salah satu kondisi yang membingungkan para ibu bekerja. Ibu harus dihadapkan dengan tugas di kantor yang harus diselesaikan, juga kewajiban untuk merawat anak yang sedangkan sakit di rumah. Tentu saja ini sangat dilematis, karena bagaimana pun sebagai seorang ibu anak adalah hal yang paling utama untuk diperhatikan. Sehingga harus mengorbankan pekerjaan-pekerjaannya dengan berbagai risiko yang akan dihadapinya. Beruntung jika pekerjaannya tersebut memberikan keringanan atau toleransi untuk hal-hal seperti ini, namun terkadang banyak juga pekerjaan yang sama sekali tidak bisa ditinggalkan karena memberikan dampak yang besar bagi tempatnya kerja. Misalnya tiba-tiba anak sakit ketika kita harus menjadi pemateri utama dalam suatu acara, setelah berjanji untuk dapat mengisi acara tersebut. Atau anak sakit ketika ibu sedang dalam suatu urusan di luar kota. Di sini ibu harus mampu mengambil keputusan yang berat. Jika pun ia harus tetap bekerja, tentu saja ia akan bekerja dengan kondisi tidak fokus dan penuh dengan tekanan dari berbagai sisi.
Tidak punya me-time. Pekerjaan ganda sebagai seorang ibu rumah tangga dan sebagai perempuan karir kerap memberikan kesibukan luar biasa bagi seorang perempuan yang pekerja. Sehingga perempuan lupa bagaimana cara menyantaikan dirinya sendiri dan meluangkan waktunya untuk sekadar memanjakan dirinya. Padahal ini sangat penting diperoleh oleh seorang perempuan agar jiwa dan fisik mereka sehat. Banyak perempuan yang tidak mampu memaksimalkan me-time nya, sehingga sering kita temukan perempuan yang uring-uringan, mudah marah, kelihatan kusut, dan tidak terlihat menarik lagi seperti ketika masa-masa sebelum pernikahan. Ini bisa jadi karena mereka tidak menemukan waktu luang agar dapat istirahat sejenak dari rutinitas padat mereka.
Ibu yang sehat mentalnya adalah ibu yang bahagia. Untuk bahagia, maka perlu ada “jeda” bagi mereka agar dapat beristirahat dari padatnya kesibukan dan rutinitas sehari-harinya. Kadang-kadang, para lelaki lupa alasan mengapa seorang perempuan TIDAK TAMPIL MENARIK LAGI ketika berada di rumah setelah mereka berumah tangga. Salah satunya adalah kelelahan mereka dan kurangnya waktu untuk sekadar dapat menikmati me-time dan meluruskan kaki, jari-jari, badan, pikiran, dan mental mereka. Mereka juga perlu mengurusi diri mereka sendiri.
Kurangnya waktu spesial bersama suami. Kesibukan juga dapat membuat waktu bersama suami tidak lagi seromantis ketika masa-masa perkenalan atau awal pernikahan dulu. Seorang ibu yang sibuk mengurus rumah, anak, dan tugas-tugas kantornya bahkan sangat susah meluangkan waktu yang berharga bersama suami. Belum lagi jika suami juga pekerjaannya sendiri di rumah. Sehingga kondisi seperti ini jika tidak disiasati akan mengurangi keharmonisan rumah tangga. Banyak sekali kasus yang ditemukan bahwa keluarga menjadi kurang harmonis ketika suami dan istri sibuk pada pekerjaannya masing-masing. Sehingga untuk kondisi seperti ini, secara umum perempuan lebih banyak mengalah untuk mengundurkan diri dari pekerjaan mereka dan lebih memilih tinggal di rumah sebagai ibu rumah tangga.
Nah, beberapa kondisi yang dipaparkan di atas dikenal sebagai working mom in dillema. Saya yakin, sebagian perempuan yang bekerja merasakan hal yang sama. Ada masa-masa ketika perempuan harus dihadapkan dengan pilihan-pilihan berat yang menuntut mereka untuk meninggalkan dunia karir mereka dan memilih bekerja di rumah saja. Ini menjadi suatu dilema besar bagi perempuan karir, terlebih lagi dilema tersebut berhubungan dengan permasalahan anak dan keharmonisan rumah tangga mereka.

Pilihan-pilihan yang harus dipilih perempuan berkarir ini pun nantinya juga harus berhadapan dengan persepsi sosial di atasnya. Misalnya perempuan yang memilih untuk tetap berkarir, akan cenderung dianggap sebagai perempuan yang egois dan tidak memiliki perasaan. Atau sebaliknya, ketika perempuan berkarir meninggalkan pekerjaannya demi rumah tangganya, juga akan muncul persepsi yang menempatkan perempuan tersebut dalam kondisi tidak mengenakkan. Misalnya dianggap telah membuang-buang kesempatan dan pendidikan tinggi yang dengan susah payah diraihnya. Persepsi sosial akan selalu saja ada.
Untuk beberapa alasan, kondisi sosial di sekitar sering kali membuat para perempuan atau pun para ibu yang bekerja untuk cenderung merasa bersalah terhadap pilihan-pilihan mereka, berkaitan dengan cara mereka membesarkan atau mengasuh anak-anak mereka.

Kentalnya Budaya Patriarki dalam Masyarakat


Kondisi sosial masyarakat saat ini pun masih sangat kental memposisikan perempuan karir ini dalam kondisi tersudutkan. Banyak kejadian ketika seorang perempuan berkarir tidak mampu menjalani kehidupan rumah tangga layaknya gambaran budaya setempat, disudutkan dengan stigma-stigma tentang konsep perempuan ideal.
Ini lah yang dikatakan dengan patriarkisme, di mana posisi perempuan ditempatkan seolah-olah hanya layak berada di dalam rumah saja dan melakukan hal-hal domestik saja. Sehingga ketika perempuan tersebut bekerja di luar rumah dengan berbagai alasan apapun, akan dianggap “bersalah” ketika didapati kondisi rumah yang dianggap acak adut atau tidak teratur sebagaimana gambaran “rumah ideal” pada masyarakat semestinya.

Seorang perempuan, harusnya mampu mengurusi rumah tangganya dengan baik, menjaga anak-anaknya, melayani suami, dan menjamin kondisi rumah harus ditinggalkan dalam kondisi rapi dan bersih. Jika ini tidak bisa dilakukan, maka stigma masyarakat akan menjadikan perempuan sebagai sosok yang dianggap “gagal” menjadi seorang ibu atau istri. Seorang perempuan rentan dianggap sebagai “penyebab” atau “pelaku” munculnya suatu konflik di dalam rumah tangga.
Ketika muncul masalah-masalah yang terjadi berkaitan dengan kondisi rumah tangga seseorang, acap kali perempuan berkarir cenderung lebih disudutkan sebagai penyebab terjadinya keretakan. Banyak kasus-kasus perceraian atau perselingkuhan didasari pada kondisi kesibukan dari pasangannya, terutama seorang perempuan. Perempuan karir yang dibebankan dengan bagaimana konsep ideal mengurusi rumah tangga, dan pandangan-pandangan lingkungan di sekitarnya yang tidak mau tau terhadap pilihan-pilihan yang dihadapi perempuan dapat menjadi suatu tekanan.

MOTHERHOOD IS NOT A COMPETITION

Sistem Motherhood Seorang Perempuan Itu Berbeda-beda


Nah, untuk mengatasi kedilemaan seorang perempuan berkarir ini, salah satu caranya adalah menerapkan sistem pengasuhan atau motherhoodyang sesuai dengan kondisi dalam keluarganya itu. Bagi saya, teknik pengasuhan setiap ibu akan berbeda-beda satu sama lainnya. Terserah dia seorang ibu rumah tangga kah atau seorang perempuan karir seperti saya ini. Seorang ibu punya gayanya tersendiri yang dianggap pantas. Maka akan menjadi sangat “liar” jika ada yang memaksakan standar pengasuhan anak terhadap sekelompok perempuan tertentu. Itu saya analogikan dengan bagaimana seseorang memaksakan agar anak harus tumbuh kembang dengan standar tertentu, padahal kondisi setiap anak itu berbeda-beda. Begitu pula dengan cara setiap keluarga membesarkan anak mereka dan menjalani sistem rumah tangga mereka.
Bagi saya, setiap keluarga dan setiap ibu punya caranya tersendiri dalam mengasuh anak-anaknya. Motherhood yang baik itu bukan suatu perlombaan. Bukan menampilkan apakah staying at home mom adalah lebih baik daripada working mom ataupun sebaliknya. Karena seorang ibu akan punya caranya sendiri untuk mengurusi hidupnya, hidup anak-anaknya, dan rumah tangganya.
Penghakiman-penghakiman yang dilakukan oleh seorang perempuan terhadap perempuan lainnya tentang konsep menajdi seorang ibu ideal hanya akan semakin menyudutkan posisi perempuan itu sendiri ke dalam jurang dilema yang lebih besar. Sangat tidak ideal jika perempuan memaksakan perempuan lain untuk berperilaku seperti standar ideal yang dibentuknya.
Sering kita dapatkan di dalam kehidupan masyarakat ada pembahasan yang tidak kunjung habis-habisnya mengenai stay at home mom atau working mom. Dua kubu ini selalu saja merasa paling lebih, untuk mencari pembenarannya masing-masing.
Misalnya,
Enakan duduk doang di rumah, bisa ngawasin anak, fokus ngajarin anak, layanin suami, rumah bersih, sekeluarga pun happy. Kantong, ya tetap ngisi dong. Wong gaji suami masuk bulanan...
Situ kerja, terus anaknya dititip ke siapa? Emang barang, bisa dititip-titip...
Kata kubu ibu rumah tangga.
Di sisi lain,
Eh, emang enak nerima uang suami mulu? Mau nyalon harus minta dulu, beli lipstik, baju, sepatu, tas? Mana cukup nunggu gaji suami doang...
Sayang tuh ijazahnya kalau ga dipake buat kerja. Emang ga bosan apa, duduk di rumah melulu?.
Kata kubu perempuan karir...
Tidak akan ada habis-habisnya jika ini dipermasalahkan.
Oleh karena itu, bagi seorang perempuan, baik dia bekerja di rumah atau di luar rumah, status sosialnya sebagai seorang ibu tetap akan melekat. Ada tanggung jawab baginya. Hanya saja, setiap perempuan punya teknik pengasuhan dan cara menjalani armada rumah tangganya secara berbeda-beda. Ini lah yang menurut saya tidak boleh dipaksakan satu sama lainnya.

Pentingnya Sistem Berbagi Peran di dalam Keluarga

Saya beruntung punya suami yang paham dan sangat mendukung dengan kehidupan karir seorang istri. Di sini kami membangun strategi yang berbeda dengan keluarga lainnya, menyesuaikan dengan kondisi kami yang sama-sama bekerja. Namun apapun itu, keluarga adalah yang paling utama. Sehingga kami selalu bekerja sama dalam berbagai hal apapun berkaitan dengan urusan kerumahtanggaan.
Bagi kami, berbagi peran di dalam mengurus rumah tangga itu sangat penting dilakukan. Terutama jika seorang istri berkarir tanpa punya asisten rumah tangga. Contoh sederhananya saja, seperti saling membantu mengurusi anak, bergantian mencuci baju atau menyetrika pakaian, belanja keperluan dapur, dan sebagainya.
Sistem berbagi peran di dalam keluarga akan mengurangi keluh-kesah seorang perempuan dan kelelahan mereka menghadapi berbagai kesibukannya. Sehingga akan meminimalisir munculnya pertikaian dan ketidakharmonisan dalam keluarga. Ketidakberimbangan peran di dalam keluarga cenderung hanya akan membuat kondisi rumah tangga menjadi tidak stabil dan ini harus lah diperhatikan.
Tidak penting kita menanggapi konstruksi sosial yang terbentuk di tengah-tengah masyarakat mengenai pengkotak-kotakan peran gender, bahwa laki-laki bekerja di luar rumah dan perempuan harus di rumah. Bagi saya pribadi, selama keluarga bisa dijalani secara harmonis dengan sistem manajemen keluarga masing-masingm maka pemikiran orang tidak akan penting. Bagi kita yang terpenting adalah membangun keluarga sakinah, mawaddah, wa rahmah. Salah satu caranya adalah dengan membentuk pola kerja sama yang baik, berbagi peran mengurusi rumah tangga salah satunya untuk saling meringankan beban masing-masing.
Sehingga segala sesuatunya berjalan dengan imbang.

IMG20171205143959.jpg
*Cut abang tercinta menjaga anak, sementara saya sibuk menulis. :D

Jadi lah ibu yang terbaik bagi anak-anak dan keluarga berdasarkan aturan yang telah disepakati bersama, yang membawa manfaat secara bersama, dengan membangun hubungan keluarga yang baik di dalam bentuk kerja sama yang baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar