Selasa, 08 Januari 2019

Perempuan-perempuan yang Dikomodifikasikan

“Apakah bisa dikatakan tidak menyesatkan, ketika sensasi seksualitas memenuhi ruang pemberitaan lebih banyak daripada kasus korupsi yang menjadi sumbernya, dengan menjarah dan memperkosa ruang pribadi kaum perempuan yang pada dasarnya menjadi korban?"– Seno Gumira Ajidarma.


Beranjak dari terbongkarnya praktik prostitusi di Aceh akhir-akhir ini, maka media massa yang ada di Aceh baik cetak ataupun online pun berlomba-lomba menjadikan isu ini sebagai informasi hangat. Beberapa tema yang sering dibahas adalah masalah sosok perempuan yang terlibat sebagai pelaku, berapa kisaran harga yang ditawarkan, apa yang ditawarkan mereka, sanksi apa yang diterimanya, dsb. Seakan-akan, tema seperti inilah yang diminati pasar, yang dapay mendulang rating tinggi bagi media.
Berita yang bertemakan prostitusi, hampir selalu menjadi isu yang menarik perhatian media massa ataupun pembacanya. Terlebih lagi jika isu tersebut "digoreng" sedemikian rupa dengan menggunakan bahasa bombastis dan sensasional.
Anehnya lagi, berita seperti ini cenderung tidak disajikan secara berimbang. Berimbang seperti apakah? Biasanya, dalam konteks ini objek yang selalu saja menjadi sorotan pemberitaan adalah kalangan perempuan, yang seolah-olah perempuan adalah sosok "pelaku" utama sebagai biang kerok persoalan, tolak ukur kerusakan moral, atau hal negatif lainnya.
Padahal, kita juga tau, bahwa kasus seperti ini tidak hanya melibatkan satu pihak saja. Namun ada sosok lainnya yang cenderung diabaikan, hingga bahkan lupa untuk ditonjolkan juga. Siapa? Yaitu pihak laki-laki sebagai pemanfaat jasa. Tidak mungkin praktik ini dilakukan sendirian saja bukan?

Begitulah media massa.
Di sisi lain, tidak hanya permasalahan prostitusi yang mengisi ruang-ruang publikasi media, adapula tema-tema lainnya tentang perempuan yang juga menarik perhatian media. Apapun itu, jika sudah menampilkan ranah "tubuh perempuan" plus bumbu-bumbu sensasi seksualitas, akan dianggap punya nilai jual yang tinggi. Misalnya, seperti dalam film-film atau sinetron yang mengharuskan pemeran perempuan dengan kriteria tertentu (putih, tinggi, langsing) sebagai pemainnya, iklan-iklan produk yang menampilkan sensualitas perempuan, pembawa acara di program acara tertentu yang menuntut perempuan tampil menarik dan seksi, atau berita-berita kriminalitas, pelecehan seksual, dan sebagainya yang cenderung mengekspos tubuh perempuan.

Di sini coba anda perhatikan, apa yang dijual media tentang perempuan kepada khalayaknya? Jawabannya adalah sensualitas dan sensasionalitas belaka.

Komodifikasi Atas Perempuan

Lantas, mengapa perempuan rentan menjadi sorotan dalam pemberitaan atau tayangan di media massa?. Well, mungkin kita pernah mendengar istilah "komodifikasi" atau "komoditas". Jika belum pernah, di sini saya ingin sedikit memberikan gambaran.
Komodifikasi merupakan suatu proses mengtransformasi barang, jasa, idea, dan apapun yang dapat ditukar nilai gunanya menjadi sesuatu yang memiliki nilai ekonomi. Sesuatu yang disebut sebagai komoditas pada intinya hanyalah menggambarkan "everything that can be exchange and has an economical value".
Sederhananya, proses komodifikasi tersebut menggambarkan suatu nilai guna (use value) yang ditransformasikan menjadi nilai tukar (exchange value). Produk dan hal apapun yang pada awalnya hanya memiliki nilai gunanya, diubah menjadi sesuatu yang punya nilai tukar di pasaran. Apapun itu, asalkan dapat dimanfaatkan. Misalnya seperti air, yang pada awalnya cuma punya nilai guna untuk menghilangkan haus, memasak, atau pun mencuci pakaian, maka dapat memiliki nilai tukar ketika ditransformasikan dalam bentuk kemasan-kemasan dan dijual ke pasaran.
Begitupun perempuan. Dalam konteks ini perempuan adalah sosok atau komoditas yang dianggap menarik dan punya nilai jual. Salah satu nilai jual perempuan adalah terletak pada nilai-nilai sensualitas, tubuhnya, labelisasi, dan stigmatisasi yang melekat pada dirinya. Nilai-nilai ini muncul karena budaya patriarki yang berkembang kental di masyarakat. Apa itu patriarki? yaitu budaya yang lebih meninggikan laki-laki daripada perempuan. Sadar atau tidak, kita terjebak dalam budaya patriarki ini yang kemudian, media pun, semakin memperkuat taring patriarki ini melalui apa yang ditampilkan di dalam publikasinya.
Di dalam media yang kapitalis, ekspresi, perilaku, dan aktivitas tubuh merupakan elemen-elemen utama yang dapat dieksploitasi sebagai komoditas. Perempuan-perempuan dieksploitasi tubuhnya, pikirannya, berbagai sisi dari dirinya, untuk pencapaian PUNDI-PUNDI industri media. Perempuan dijadikan sebagai maskot untuk meraih simpati khalayak media, mencapai rating, menarik pengiklan, dan memancing khalayak yang pada dasarnya adalah dibentuk sesuai dengan selera pasarnya, yaitu seleranya laki-laki.

Perempuan dan Budaya Konsumsi

"Laki-laki adalah pasar, permintaan. Sedangkan perempuan adalah pasokan." --Gilman.
Perempuan di media pada dasarnya adalah korban yang dieksploitasi hak-hak kepemilikan tubuhnya. Perempuan merupakan sosok yang identik dengan persoalan konsumsi, khususnya konsumsi massa. Tubuh yang awalnya merupakan ranah privat, menjadi milik yang dinikmati publik dan dikontrol oleh nilai-nilai kapitalis yang menguasainya. Di dalam media yang kapitalis, tubuh perempuan diciptakan sebagai sosok yang dianggap punya nilai seni besar, sehingga layak dipertontonkan dan dibentuk sesuai dengan selera pasar.
Perempuan mendapatkan semua atribut komoditas dalam tatana kapitalis/patriarki. Mereka menjadi produk fabrikasi, yaitu produk yang dibentuk atau diproduksi ulang dalam bentuk yang menjadikan mereka (perempuan) cocok untuk dipertukarkan di kalangan laki-laki. Oleh Steedman, perempuan menjadi objek yang dikomodifikasikan, sebagai konsumen komoditas dan fantasi (maskulin/laki-laki), sebagai objek dari hasrat orang lain tetapi juga sebagai subjek yang menghasratkan.
Maka melalui sistem yang patriarki ini, perempuan dijadikan sebagai komoditas di dalam dunia perbisnisan media massa. Perempuan-perempuan itu terkomodifikasi. Dimanfaatkan nilai-nilai yang ada pada dirinya untuk pencapaian profit belaka. Media massa dan pelaku di dalamnya yang patriarkat, menjerumus perempuan ke dalam jurang "penindasan" yang bahkan, perempuan-perempuan itu sendiri pun, tidak menyadari bahwa mereka telah diberdaya. Perempuan tersebut bekerja atas dasar hasrat. Hasrat ingin tampil, hasrat ingin diakui, hasrat ingin mendapatkan uang, hasrat ingin terkenal, hasrat ingin terlihat cantik dan seksi, hasrat bergaya hidup mewah, dsb.

Buka Mata Lebar-lebar

Perempuan itu bukan komoditas! Dia adalah manusia yang juga harus dihargai posisinya, martabatnya, harga dirinya.
Sudah seharusnya media yang peka jender dan tidak kapitalis memposisikan perempuan tidak semata-mata dalam hitungan bisnis belaka. Perempuan juga manusia, bukan barang yang dengan mudahnya dieksploitasi dari berbagai sisi untuk mencapai keuntungan.
Bagi saya pribadi, media atau pelaku media yang selalu menjadikan isu perempuan sebagai daya tariknya sehingga mengabaikan etika, adalah media yang patut dipertanyakan kredibeiitasnya. Media yang baik adalah media yang membangun, positif, dan tidak berisi labelisasi-labelisasi yang memojokkan perempuan sebagai objek tontonan dan penghasil uang.
BUkankah dalam agama pun sudah ditekankan, hargailah perempuan, jagalah martabat dan harga dirinya. Jangan semakin dibentuk, diciptakan, atau diproduksi sedemikian rupa sehingga semakin menjatuhkan posisi mereka.
Sekian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar