Saya merasa beruntung, terlahir dari keluarga yang (lumayan) bisa
dikatakan hidup berkecukupan. Meskipun tidak terlalu kaya, saya dan
keluarga masih bisa makan makanan yang enak, tinggal di rumah yang
nyaman, bisa sekolah, dan masih bisa membeli apa yang dibutuhkan.
Alhamdulillah.
Pagi tadi saya berjalan kaki bersama teman kos hendak ke pasar
minggu, ini kali pertama saya melihat dengan mata kepala saya sendiri
bahwa ada orang-orang yang hidupnya sangat tidak layak. Mereka tinggal
di emperan jalan, di halaman kosong gedung-gedung tua kampus Undip, dan
di sana mereka membangun rumah mereka (yang menurut saya tidak bisa
dikatakan sebagai rumah), tinggal bersama keluarga kecilnya. Dan kondisi seperti ini tidak pernah atau (mungkin) belum saya temui di Aceh. Sungguh saya takjub!
Rumah
itu, terbuat dari papan-papan yang disusun sealakadarnya, bahkan ada
juga yang terbuat dari kardus-kardus bekas. Di sana mereka berteduh,
tidur, memasak, dan melakukan kegiatan sehari-harinya.
Saya juga melihat, seorang nenek tinggal sendirian saja di sebuah "rumah-rumahan" dari kardus
yang sempit! (Lantas, anak-anaknya itu kemana?).
Belum lagi, banyak juga ibu atau bapak yang sudah lumayan berumur bekerja
pontang panting, mendorong gerobak sampah, menjual sayur, memulung,
narik becak, dan lain-lain yang menurut saya pekerjaan itu sangat tidak
wajar dilakukan oleh mereka pada usia setua itu. Sungguh terlalu!
Setau saya kalau di Aceh khususnya di tempat saya tinggal, rata-rata penjual jajanan, ikan, atau sayur keliling masih muda-muda, begitu pula yang narik becak. Mereka ini tidak lagi menggunakan sepeda atau bersusah payah mendorong gerobak, namun sudah menggunakan sepeda motor. Dan jarang sekali ada ibu-ibu yang sudah tua renta mendorong gerobak sayur apalagi gerobak sampah. Ada, tapi saya sangat jarang melihatnya.
Setau saya kalau di Aceh khususnya di tempat saya tinggal, rata-rata penjual jajanan, ikan, atau sayur keliling masih muda-muda, begitu pula yang narik becak. Mereka ini tidak lagi menggunakan sepeda atau bersusah payah mendorong gerobak, namun sudah menggunakan sepeda motor. Dan jarang sekali ada ibu-ibu yang sudah tua renta mendorong gerobak sayur apalagi gerobak sampah. Ada, tapi saya sangat jarang melihatnya.
Mirisnya, saya juga banyak menemukan pengemis. Pengemis di sini,
rata-rata cakep-cakep dan masih muda. Pakaian yang dikenakannya juga bagus-bagus. Kebanyakan dari mereka malah ada yang fisiknya
masih sehat. Padahal, sudah sepantasnya mereka bisa menemukan pekerjaan
lain yang lebih layak dilakukan selain hanya meminta-minta. Tapi, ya seperti itulah. Mungkin itu kerjaan yang paling mudah
didapatkan mereka, tanpa harus pusing-pusing memikirkan untung rugi, di
tengah-tengah sulitnya menemukan pekerjaan yang layak lainnya.
Ini negara kita bung!
Sekarang, mari kita melihat diri kita sendiri. Mungkin kita masih sering mengeluh dengan kondisi kita saat ini, mengeluh pada urusan-urusan kecil yang sebenarnya tidak sesulit urusan ‘mereka’. Bagi mereka, bisa makan nasi dengan lauk layak sehari sekali saja sudah sangat menyenangkan. Nah kita? Karena macet, tugas kuliah, atau telat dapat kiriman saja sudah merasa pusing.
Sesekali berjalan lah! Jangan terlalu manja dengan kendaraan mewah.
Lihat lah bahwa masih banyak orang yang hidupnya lebih susah, dan kita
akan menemukan bahwa betapa perlunya rasa syukur itu. Bahwa sesekali
kita perlu melihat hal-hal yang berada di bawah kita, untuk dijadikan
pembelajaran dan hikmah.
(Semarang, 10. 33 am)
hidup untuk disyukuri ... terima kasih berbagi postingan ini, Putri ... :)
BalasHapus