Sabtu, 07 Desember 2013

Petualangan di Negeri "Upin Ipin"

KALI PERTAMA saya ke Kuala Lumpur, Malaysia, itu adalah modal "nekat". Tanpa ditemani oleh seseorang yang sudah mengenal kota tersebut, atau setidaknya pernah ke sana, saya berinisiatif untuk tetap ke sana demi memuaskan jiwa "petualang" saya dan memanfaatkan kesempatan yang memang sudah ada di depan mata. Tepatnya di bulan Maret 2013, saya bersama paman berangkat menuju Kuala Lumpur dari Pulau Penang dengan menggunakan bus di terminal Sungai Nibong. Saat itu kami memilih keberangkatan pukul 01.00 dini hari. Busnya benar-benar menarik, luas, dan nyaman. Berbeda dengan kebanyakan bus yang ada di Aceh. Harga tiketnya ketika itu adalah RM 35 atau sekitar 105.000 Rupiah.

Perjalanan dari Penang ke Kuala Lumpur menghabiskan waktu sekitar 5 jam. Saya dan paman ketika itu hanya punya waktu seharian di sana, alias harus pulang-balik Penang - Kuala Lumpur - Penang. Itu karena ayah dan ibu saya menunggu kami di Penang, dan tidak bisa ikutan karena kondisi kesehatan Ayah yang tidak baik. Bisa dibayangkan kan, bagaimana perjalanan pertama kalinya ke Kuala Lumpur dengan waktu yang hanya singkat sekali itu? Benar-benar nekat pokoknya.

Sekitar pukul 5 subuh kami tiba di terminal Pudu Raya, Kuala Lumpur. Bingung, dan terasa sangat asing bagi saya dan paman. Meskipun saya sudah searching di internet tentang tempat wisata yang menarik dan terdekat di sana, tetap saja kami masih buta arah. Apalagi subuh-subuh buta seperti itu.
Dan petualangan pun dimulai....

1. Kampong Baroe

 

Pada akhirnya, kami memutuskan untuk memesan taxi. Oleh sopir taxi tersebut, kami direkomendasikan agar ke Kampong Baroe terlebih dahulu, soalnya di sana banyak terdapat warung makanan melayu sekaligus bisa salat subuh. Dan tanpa cas cis cus, langsung saja saya meminta sopir taxi tersebut untuk mengantar kami ke tempat itu.

Dan, inilah pertama kalinya kami merasakan sarapan pagi di kota ini. Nasi lemak dan segelas teh hangat. Lidahku belum terbiasa dengan makanannya, rasanya masih kurang nyaman di mulut. Hehe. Di Kampong Baroe ini, memang terdapat beberapa warung makanan melayu. Meski rasanya masih berbeda dengan makanan di Aceh atau Indonesia, namun makanan di sini jauh lebih sesuai standar untuk kita-kita sebagai pendatang. Selain itu, harganya lebih ekonomis dan banyak menu pilihannya. Katanya sih, kebanyakan orang Malaysia lebih senang belanja dan makan di daerah ini. Daripada di daerah-daerah turis yang tentunya makanan dan belanjaannya disesuaikan dengan standar internasional dan harganya pun standar turis.

2. KLCC atau Menara Kembar (Twin Towers)


Twin Tower at the morning


Setelah itu, tanpa banyak membuang waktu kami langsung bergerak menuju target pertama, yaitu menara kembar KLCC. Katanya jaraknya dekat dari Kampong Baroe ini, dan kami memang melihat dengan jelas menara tersebut dari sini. Sehingga ketika itu, saya dan paman memutuskan untuk berjalan kaki saja ke sana. Selain karena kami belum terlalu mengerti cara naik bus atau LRT (karena tidak mengerti rute-rutenya), dan kami hanya punya uang yang sangat "pas-pasan" untuk memesan taxi lagi. Jadi harus kudu hemat se-ka-li.  Haha, buset dah!


Suasana masih gelap, dan hanya kami berdua yang terlihat berjalan kaki menyusuri jalan di kota tersebut. Dengan menebak-nebak arah dan berpatokan pada menara kembar yang terlihat itu, kami terus saja berjalan. Dan lucunya, tebak-tebakan kami itu ternyata tidak berujung baik. Tidak ada jalan pintas untuk menuju menara itu, banyak sekali jalan-jalan yang ditutup dan tidak bisa dilalui sehingga kami terpaksa berjalan lewat jalan besar. Yang pada akhirnya, kami justru terdampar di jalan tol! Hahaha (its a damn funny!!). Lebih kurang sekitar 3-5 km perjalanan kami ketika itu hingga akhirnya tiba di KLCC. Lumayan lah buat olah raga pagi.

Dan dengan kondisi muka yang masih berminyak juga belum mandi pastinya, dengan percaya diri kami berkeliling ke dalam menara tersebut. Waktu masih pukul 7 pagi, dan kondisi di KLCC sudah sangat ramai. Berbeda dengan di Penang yang lebih didominasi oleh etnis tionghoa, di sini saya sudah menemukan banyak orang-orang melayunya. Yang wanita terlihat cantik-cantik dengan pakaian terusannya. Sangat menyenangkan melihat mereka dalam penampilan yang seperti itu. Di KLCC ini menjadi pusat perkantoran, juga perbelanjaan barang-barang yang elite dan branded. Saya dan paman tentu saja hanya bisa melihat-lihat, tidak mungkin membeli oleh-oleh di tempat seperti ini. Haha :)
Rencananya sih ingin ke tingkat paling atas menara. Katanya di sana kita bisa menemukan banyak hal menarik, seperti pameran dan lain-lainnya. Hanya saja, kata satpam yang menjaganya jika ingin naik ke atas harus membeli tiket seharga RM 40 per orang. Kemahalan sekali kan?! Dan kami terpaksa membatalkannya. Belakangan, kami tau kalau ternyata harganya tidak semahal itu. Pfft, kesal.

3. Bukit Bintang (Bintang Walk)


Bintang Walk

Beranjak dari KLCC, kami menuju Bukit Bintang dan berjalan kaki (lagi). Padahal di sekitar KLCC ada stasiun LRT, hanya saja kami belum berani mencoba. Lagian, kalau dilihat dari maps, jarak antara KLCC dan Bukit Bintang tersebut terlihat sangat dekat. Apa salahnya kan, kalau berjalan kaki lagi? Yah, sekalian bisa menikmati jalan dan melihat kondisi di sekitaran sini.

Berpedoman pada maps di handphone, saya dan paman terus berjalan mencari Bukit Bintang tersebut. Agak membingungkan memang. Setengah jam lebih kami berjalan, dan saya hampir menyerah. Paman saya ketika itu sangat "keukeh" untuk tidak naik bus atau sejenisnya. Yah, saya jadi tidak bisa komentar apa-apa selain terus berharap pada maps yang ada di handphone itu.

Ternyata, tidak jauh dari tempat yang kami singgahi untuk beristirahat sejenak, kami menemukan gerbang masuk Bintang Walk tersebut. Alhamdulillah....
Bukit Bintang ini ternyata adalah pusat perbelanjaan di kota ini, saya menemukan banyak sekali mall dan kafe-kafe di sini. Selain dipadati oleh kendaraan, banyak juga orang yang berlalu lalang dengan berjalan kaki. Ketika itu lah, saya sadar..."oh, saya sudah di luar negeri toh". Di Indonesia, saya belum menemukan kondisi yang super padat dan sibuk seperti ini, apalagi dipadati dengan pejalan kaki. Wah...

Buat yang hobi berbelanja, Bukit Bintang adalah solusinya. Harganya sangat beragam, tergantung produk yang dijual. Namun kebanyakan standar harganya itu tinggi, tidak cocok untuk kita yang berbelanja dengan kondisi uang yang pas-pasan. Belum lagi nilai rupiah tidak sesuai dengan ringgit. Murah di mereka, kemahalan di kita tentunya. Jadi, di sini (lagi-lagi) saya hanya berkeliling dan belanja seadanya saja. Setelah itu, lanjut ke tempat berikutnya.

4. Pasar Seni (Central Market)

 

Jalur Monorail

Kami memutuskan untuk mencoba Monorail. Kaki sudah sangat lelah, sudah tidak mungkin membuang tenaga dengan berjalan kaki lagi. Apalagi, jaraknya kali ini lumayan jauh dari Bintang Walk, yaitu ke Pasar Seni. Ini juga kali pertama kami naik monorail dan masuk ke stasiun, wah saya takjub sekali. Stasiun LRT/Monorail di sini sudah modern dan serba otomatis. Kami membeli tiket monorail melalui mesin yang bentuknya seperti mesin ATM. Awalnya saya tidak mengerti, dan tentu saja harus bertanya pada orang di sekitar saya. Ternyata, di mesin itu saya harus input data stasiun tujuan dan langsung membayar dengan menggunakan uang kertas. Setelah itu, saya mendapatkan koin untuk masuk ke lokasi monorail. Hati-hati ketika menginput data, salah menginput resikonya adalah akan tertahan ketika kita turun di stasiun yang kita tuju, dengan resiko melapor pada petugas yang menjaga dan menambah kekurangan uang tiket.

Dan penting untuk kita mempelajari rute tujuan monorail itu dengan peta yang sudah disediakan sebelum membeli tiket, agar tidak salah tujuan. Perhatikan juga arah monorail yang akan kita naiki (sebaiknya bertanya pada orang-orang). Karena, di sini saya menemukan dua jalur monorail yang berlawanan. Jika salah naik, ya tentu saja akan tersesat. Dari Bukit Bintang ke Pasar Seni kami harus melewati beberapa stasiun dan ganti monorail, yaitu Stasiun Bukit Bintang - Raja Chulan - Bukit Nanas lalu lanjut dari stasiun Dang Wangi - Mesjid Jamek - Pasar Seni. Untuk berjaga-jaga, saya memotret peta jalur stasiun monorail tersebut agar tidak tersesat.

Naik LRT atau monorail ternyata jauh lebih mudah dan hemat. Hanya dengan membeli tiket seharga RM 2 sampai 3, kita bisa menjangkau banyak tempat di kota ini. Dan saya menyesal, sudah bersusah payah berjalan kaki. Hahaha..
Di Pasar Seni, kondisinya agak menyenangkan. Bagi saya, inilah tempat yang paling tepat untuk berbelanja oleh-oleh. Harganya lumayan murah-murah, ada banyak sekali souvenir yang menarik dan membuat kita kalap. Pasar Seni ini tidak berbeda dengan Malioboro di Jogjakarta. Ada banyak pakaian, gantungan kunci, pernak pernik yang imut dan cantik-cantik. Aishhh...sejauh mata memandang, ada begitu banyak karya seni. Tidak heran kalau tempat ini disebut sebagai Pasar Seni atau "Central Market" nya Kuala Lumpur :D


5. Kawasan Mesjid India

 

 


Menjelang sore, setelah membeli tiket kembali ke Penang di stasiun Pudu Raya, kami singgah ke Mesjid India. Kami memilih tempat ini sebagai tempat terakhir yang dikunjungi karena letaknya dekat dengan stasiun Pudu Raya. Sebenarnya, ada tempat lainnya yang dekat dari Pasar Seni, seperti Lapangan Merdeka. Hanya kami tidak memiliki waktu yang cukup untuk berkunjung ke sana. Mungkin lain kali, ketika saya kembali ke kota ini. Dari Pasar Seni, hanya butuh sekali saja menaiki monorail. Yaitu dari stasiun Pasar Seni - Mesjid India  :)

seperti namanya, di kawasan Mesjid India ini saya juga menemukan banyak sekali souvenir yang murah-murah seperti jelbab, bakal kain sari india, terusan, bros-bros murah dan cantik. Terlihat seperti pasar Aceh lah. Ada pasar dan ada mesjidnya. Hanya saja, mesjidnya tidak sebesar mesjid Raya Baiturrahman Aceh. Mesjid India ini bentuknya lebih kecil dan arsitekturnya unik. Mesjid ini juga tidak memiliki halaman yang luas. Awalnya, saya pikir ini adalah Mesjid Raya di kota ini, dan ternyata bukan. Mesjid ini  dulunya dibangun oleh kaum India muslim dan saat ini menjadi "landmark"nya Kuala Lumpur. Umurnya sudah sangat lama, mesjid ini sudah berkali-kali direnovasi dan menjadi mesjid tertua di sini.

Di sini, juga banyak sekali warung-warung makan melayu yang cocok dengan lidah kita. Jadi, saya dan paman tidak merasa khawatir. Sebelum ke Pudu Raya untuk kembali ke Penang, kami menyempatkan diri untuk makan malam di sana.
Di Pudu Raya, kami mengambil ke berangkatan pukul 10 malam. Dan ternyata lumayan molor, sehingga kami harus menunggu lama. Stasiun Pudu Raya ini lumayan besar dan ramai. Sistemnya pun sudah lumayan modern daripada stasiun yang pernah saya lihat di Indonesia.

Pokoknya, banyak hal baru yang telah saya dapatkan selama seharian di Kuala Lumpur. Meskipun dengan modal yang pas-pasan dan waktu yang singkat, jika punya keinginan untuk mencobanya pasti akan terasa menyenangkan. Bahkan, lelah pun tidak terasa. :)

Di Stasiun Pasar Seni


Stasiun Pudu Raya

7 komentar:

  1. Nah, ternyata Pudu Raya adalah nama sebuah tempat di Malaysia... (setelah sering lihat nama nya sebagai rumah makan istimewa di Banda Aceh)

    :-)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Emangnya warung makan Pudu Raya di Banda di mana ya? Kok belum pernah lihat? :)

      Hapus
  2. Whee... senangnya bisa jalan2... smpe sekarang sy msh belum berani ke tempat asing sendirian :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lain kali harus dicoba tuh. Jalan-jalan sendirian itu lebih seru, bebas kemana-mana. Hehehe ;p

      Hapus
  3. Enaknya jalan2 :D Pergi sendiri keknya lebih menantang yak

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, tapi jangan sampe tersesat aja. Apalagi kalau uang pas-pasan, bahaya x tuh...:D

      Hapus
  4. wah. ganas kali kak putri. asik ya jalan-jalan. hahaha

    BalasHapus