Selasa, 18 Desember 2018

McDonaldisasi Masyarakat: Peradaban "Masyarakat" nan Praktis dan Hilangnya NIlai-nilai Kemanusiaan.

Sadarkah kita? Jika saat ini, masa dan perubahan peradaban manusia sedang berkembang dengan sangat drastisnya?.
Ada masa-masa di mana manusia belum pernah mengenal dengan istilah kecanggihan teknologi. Masa di mana peran manusia sebegitu besarnya dilakukan tanpa harus dibantu oleh kecanggihan teknologi. Yang kata orang-orang saat ini, masa-masa tradisional, konvensional, tanpa dihantui dengan istilah-istilah modernitas.

Suatu ketika, mahasiswa senior di kelas Komunikasi Massa yang saya ampu dengan polosnya bercerita bahwa dulunya ia pernah berpikir bahwa telepon putar adalah teknologi tercanggih ketika masa ia sekolah dulu. Begitu juga dengan televisi hitam putih dan radio. Ia tidak pernah membayangkan bahwa akan ada teknologi lainnya yang lebih canggih daripada yang pernah ia lihat ketika itu. Sehingga waktu pun terus berputar, dan kondisi masyarakat ikut berubah. Ternyata kecanggihan alat-alat yang ia temukan dulu bukan lah satu-satunya. Semakin hari, semakin ada saja penemuan baru yang lebih canggih daripada teknologi sebelumnya.
Inilah masa masyarakat digital, masyarakat teknologi. Masyarakat di masa tercanggih sepanjang peradaban umat manusia. Saat ini umat manusia semakin berinovasi dengan berbagai penemuan-penemuan yang mempermudah kehidupan dan kinerjanya manusia. Namun, apakah ini satu-satunya jalan yang dibutuhkan manusia?
Di sini saya ingin mengambil istilah dari George Ritzer (2002) mengenai konsep McDonaldisasi dalam masyarakat (the McDonaldization of Society), bahwa kondisi masyarakat di dunia saat ini menurut Ritzer sedang dijangkiti oleh wabah McDonaldisasi ini. Bahkan di hampir setiap sektor kehidupan manusia.
McDonaldisasi adalah suatu proses yang menggambarkan bagaimana prinsip-prinsip dari restoran cepat saji (terutama McDonald’s) mulai mendominasi berbagai sektor masyarakat di seluruh dunia, mulai dari bisnis restoran, media massa, agama, seks, pendidikan, dunia kerja, biro periklanan, politik, keluarga dsb.
Ritzer sebenarnya termotivasi oleh konsep Rasionalitas yang diperkenalkan oleh Max Weber dalam birokrasi. Berpikir dalam konteks rasionalitas artinya menekankan prinsip-prinsip rasional dan meninggalkan hal-hal yang non rasional atau dianggap konvensional.
Bagi Weber rasionalitas dalam birokrasi yang modern terjadi jika proses administrasi birokrasi mampu menjadi efisien, rutin, dan nonpartisan jika dirancang seperti sistem kerja sebuah mesin agar memberikan hasil yang tepat, pasti, terukur, dan efisien.
Apa-apa saja prinsip-prinsip restoran cepat saji yang kini diterapkan juga diberbagai sisi kehidupan masyarakat:

EFISIENSI

Dalam prinsip restoran cepat saji, prinsip efisiensi dalam bekerja sangat diutamakan. Mereka harus optimal dalam bekerja dengan berupaya mendapatkan dan memanfaatkan sarana sebaik mungkin, dengan melibatkan sejumlah pekerja yang diberikan tugas khusus dan dibantu dengan ketersediaan teknologi modern. Sehingga dengan mengatasnamakan 'efisiensi', produk yang diciptakan pun dituntut harus sederhana. Penyerderhanaan produk dilakukan agar produk dapat segera dikonsumsi dan cepat saji. Para pekerja juga terpaksa mengikuti aturan dan standar yang telah baku, begitu pun konsumen. Demi alasan efisiensi pun, dengan dibantu kecanggihan teknologi maka konsep kerja pun dituntut agar dapat lebih sederhana dan memberikan kemudahan. Sehingga pada masalah pelayanan, mereka meminta konsumen untuk dapat melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh karyawan.

Dalam kehidupan masyarakat saat ini, proses efisiensi dapat kita lihat di berbagai lini. Di kampus kita bisa melihat proses pengisian KRS misalnya, yang sudah tersistem sedemikian rupa sehingga tidak dapat langgar sedikit pun agar hasilnya tepat dan sesuai aturan. Proses pelayanan di berbagai lembaga publik, juga menuntut agar pekerja atau masyarakat untuk patuh pada standar tertentu agar apa yang diinginkan dapat tercapai, seperti proses membuat SIM, KTP, atau membuka rekening di BANK.
Karena masalah efisiensi juga, saat ini berbagai hal dapat dilakukan secara praktis dan cepat. Bagi masyarakat modern saat ini, dengan bantuan teknologi modern dan digitalisasi, masyarakat dapat mengakses semua kebutuhan secara online. Mau liburan, ke Traveloka.com dulu, butuh bahan belanja dapat singgah ke Tokopedia.com, mau transfer uang bisa akses di internet banking atau mobile. Tidak bawa uang, mau belanja, bisa pakai ATM atau kartu kredit. Lapar? Bisa pesan makanan di jasa delivery, atau go food. Atau tidak punya kendaraan dan mau berpergian? Tinggal hubungi gojek online, taksi online, atau becak online. Gampang sekali.

LAYANAN YANG TERKUANTIFIKASI DAN TERKALKULASI

Di dalam McDonaldisasi, pengoptimalan kuantitas lebih dipertimbangkan daripada kualitas. Hal ini dapat dilihat pada waktu, proses, dan hasil akhir yang didapatkan. Berkaitan dengan masalah waktu dan proses, dalam sistem yang ter-McDonaldidasikan maka kecepatan sangat diutamakan agar diperoleh efisiensi. Seperti di restauran cepat saji, mereka harus benar-benar mengikuti aturan yang telah ditetapkan agar semua dapat berjalan sebagaimana seharusnya. Baik pekerja atau konsumen dituntut untuk "buru-buru" agar dapat mengoptimalkan waktu. Tidak boleh ada waktu yang terbuang percuma. Sehingga produk yang diciptakan pun menjadi produk cepat saji nan instan.
Sehingga karena tuntutan kecepatan ini lah, maka berpengaruh pula pada hasil akhir produk yang diciptakan. Maka muncul lah istilah "Big size is better", beragam paket ekstra Jumbo yang terkesan berlebihan ditawarkan kepada konsumen. Mereka menciptakan 'imajinasi' bahwa yang besar dan banyak itu lebih baik. Sehingga kadang-kadang konsumen mengabaikan permasalahan kualitas demi ilusi kuantitas yang diciptakan tadi. Makanan cepat saji yang sebenarnya tidak baik bagi kesehatan itu jadi dilupakan, karena masalah imajinasi kuantitas itu.

Prinsip ini dilakukan agar segala sesuatu menjadi mudah dikontrol dan dihitung dengan angka-angka. Kecepatan adalah sesuatu yang harus mudah dikalkulasikan. Keefektifan kerja dan kesuksesan dapat diraih jika dalam waktu yang relatif singkat mereka dapat membuat produk semaksimal mungkin, sehingga memberikan hasil yang optimal bagi pemiliknya. Yang terpenting adalah keuntungan yang dapat dikalkulasikan.
Di dalam masyarakat, prinsip kuantitas lebih diutamakan daripada kualitas ini pun mulai menggerogoti pikiran. Misalnya seperti tuntutan kinerja wartawan dan media massa yang harus dapat memasok puluhan berita setiap harinya, sehingga karena desakan deadline tersebut berita tidak lagi memprioritaskan isi dan kulitas. Akan tetapi lebih mengutamakan untuk memperoleh banyak berita demi kebutuhan space pemberitaan. Di dalam dunia pendidikan, kita bisa menemukan bagaimana kalangan siswa ataupun mahasiswa dituntut untuk lulus tepat pada waktunya dengan standar-standar nilai tertentu, melalui penerapan sistim SKS. Semakin cepat lulus dengan nilai baik adalah yang terbaik. Sehingga untuk mecapai target kelulusan yang banyak setiap tahunnya, berbagai cara ditekankan, salah satunya seperti mengadakan kelas dengan sistem akselerasi atau sistem Perkuliahan Semester Pendek.

PREDIKTABILITAS

Prinsip prediktabilitas menuntut suatu restaurant cepat saji sejenis McDonald harus dapat menyajikan produk yang hasilnya mudah ditebak orang rasanya di berbagai cabang mana pun. Sehingga ada penyeragaman bahan mentah dan proses produksi yang menggunakan teknologi yang sama. Maka tidak heran kita akan menemukan rasa ayam goreng, burger, saus, atau minuman yang sama di berbagai cabang McDonald atau restaurant cepat saji lainnya di seluruh Indonesia.
Dalam konteks kehidupan lainnya, maka prinsip prediktabilitas ini pun sudah diterapkan sebagai tolak ukur efisiensi. Misalnya, dalam dunia media massa kita akan tau jenis sinetron favorit yang sering ditayangkan di media nasional tertentu, berita-berita populer apa yang selalu mendapatkan sorotan, atau kasus-kasus artis apa yang ditayangkan. Karena untuk suatu kepraktisan, acap kali media menyeragamkan isi tayangan. Sehingga masyarakat dapat dengan mudah menebak isi dari media massa.

KONTROL (PENGGANTIAN SISTEM KERJA MANUSIA DENGAN MESIN)

Prinsip kontrol juga dapat kita lihat pada penerapan sistem restaurant cepat saji ini. Demi meningkatkan kuantitas kerja, maka dioptimalkan lah kerja mesin guna mengganti atau mengatasi keterbatasan dari manusia. Ini dilakukan untuk memudahkan kontrol atas kerja, pekerja, dan pelanggan. Di McDonald, KFC, Pizza Hut, dan restaurant cepat saji lainnya kita dapat dengan mudahnya menemukan berbagai alat canggih yang memudahkan pekerja melayani pelanggannya. Seperti sistem kasir digital, penyediaan minuman dengan alat, mesin-mesin listrik, dll. Semua disediakan untuk mempermudah kinerja.
Bahkan bukan hanya itu, kita juga dapat menemukan penyeragaman pada pekerja dari teknik mereka melayani pelanggan, seperti ketika menyapa pelanggan, menanyakan menu pesanan, dsb. Semua apa yang mereka kerjakan telah terstandarkan, seperti sudah diprogram sedemikian rupa oleh suatu sistem besar luar biasa. Para pekerja dikontrol layaknya sebuah mesin atau robot yang siap melakukan perintah sesuai dengan arahan yang ditanamkan kepadanya. Tidak lain ini dilakukan agar dapat menjalankan sistem yang dianggap harus berjalan dengan rasional.
Di dalam dunia sosial, sistem kontrol seperti ini sudah banyak juga ditemukan. Seperti pada pusat-pusat perbelanjaan, pelayanan kesehatan, pendidikan, urusan rumah tangga, pelayanan publik, dsb. Beberapa tempat seperti ini menekankan kinerja mesin di atas manusia, dengan berdalih untuk mempermudah aktifitas manusia. Manusia pun diperlakukan layaknya sebuah mesin, agar mampu memenuhi standar-standar rasionalitas pengendalinya.

Coba bayangkan saja, ketika kita ingin menikmati angkutan umum saat ini kita dapat membeli tiketnya di mesin penjual tiket. Ketika haus, kita bisa membeli minuman di mesin penjual minuman. Mencuci baju kini ada mesin pencuci baju, ingin menabung uang pun kini sudah ada ATM yang menarik setor dan tarik secara tunai. Kini apapun aktivitas yang kita lakukan, sudah ada fasilitas layanan yang didukung dengan kecanggihan mesin. Sehingga tidak jarang, kini kita tidak lagi mendapatkan senyum ramah dari para pelayan atau pekerja yang bertugas melayani kita.

IRASIONALITAS ATAS RASIONALITAS


Dalam proses McDonaldisasi ini, hal yang paling diutamakan adalah membentuk rasionalitas-rasionalitas terhadap segala sisi kehidupan manusia. Hanya saja, prinsip terakhir dalam McDonaldisasi ini kemudian justru menunjukkan sisi negatif dari upaya merasionalkan sisi kehidupan manusia melalui sistem yang di McDonaldisasikan. Upaya-upaya manusia menuntut rasionalitas dalam kinerja dengan efisiensi, kuantifikasi, mudah diprediksi atau dikalkulasikan, dan penekanan kontrol dengan kecanggihan mesin, kemudian ternyata justru memunculkan irasionalitas.
Antrian panjang pelanggan di restauran cepat saji untuk mendapatkan makanan menjadi suatu masalah yang tidak lagi rasional. Tuntutan kecepatan bagi para pekerja membuat pekerja menjadi "mesin kerja" yang harus bekerja optimal. Belum lagi makanan cepat saji yang dituntut harus cepat dan disajikan dengan kuantitas besar, tidak lagi memperhatikan sisi-sisi kesehatan manusia. Belum lagi keberadaan teknologi-teknologi canggih yang mengganti peran manusia, sehingga keberadaan manusia menjadi terpinggirkan. Manusia menjadi sosok yang tergantung pada mesin, bukan mesin yang butuh pada manusia. Seakan-akan, manusia tidak akan hidup atau mulus pekerjaannya jika tanpa ada bantuan dari mesin dan kecanggihan teknologi.
Di sini lah letak dehumanisasi atau memudarnya nilai-nilai kemanusiaan.
Ketika manusia sudah terstandarkan, dipaksa harus bertindak layaknya sebuah mesin, atau tergantung pada mesin. Apakah yang seperti ini yang kita butuhkan?.

Manusia dituntut untuk bekerja membabi buta, mahasiswa dituntut mencari nilai tinggi dan lulus tepat pada waktunya, dosen-dosen harus memenuhi standar tertentu agar dapat dianggap layak sebagai "dosen berprestasi tinggi", begitu pula para pekerja di tempat lainnya, atau produk-produk yang diciptakan. Semuanya dipaksakan untuk dibentuk sedemikian rupa agar dapat dianggap sesuai dengan standar rasionalitas.
Sehingga rasionalitas yang dikejar ini kemudian menjadi irasional.
Apa lagi ketika manusia mulai merasa terasingkan, atau teralienasi dengan kehidupan baku yang dijalaninya. Manusia tidak lagi menikmati perannya menjadi manusia, namun harus mengikuti standar-standar baku rasionalitas. Tidak ada waktu untuk berlibur, manusia lantas terlalu disibukkan dengan rutinitas-rutinitas baku sehari-harinya di tempat ia hidup atau bekerja.

Hidup semakin dianggap praktis dengan kemudahan teknologi. Namun teknologi tersebut pada dasarnya justru mengekang diri manusia itu sendiri. Dalam masyarakat yang ter-McDonaldisasi dan didukung dengan kecanggihan teknologi, maka manusia pun semakin terdorong menjadi individualis, berjuang untuk dirinya sendiri agar mampu memenuhi standar-standar rasionalitas yang menjadi "hantu" di kehidupan mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar